Kebudayaan Jawa yang terlanjur mahsyur terpatri erat dalam
kebudayaan nasional tampaknya memang memegang peran yang sangat penting di
Indonesia. Seolah tak pernah padam, warisan leluhur yang ditinggalkan nenek
moyang di Tanah Jawa selalu menarik untuk dibahas, salah satunya adalah
Hanacaraka.
Bagi sebagian orang, Hanacaraka mungkin terdengar asing di
telinga. Tapi bagi orang Jawa, sepertinya Hanacaraka patut untuk diketahui
sebagai warisan budaya yang wajib dilestarikan keberadaannya. Karena selain
unik, hal ini pulalah yang membuat Indonesia berbeda dari negara-negara lain
yang ada di dunia.
Hanacaraka (aksara Jawa) atau dikenal dengan nama carakan atau
cacarakan adalah aksara turunan dari aksara Brahmi yang digunakan untuk penulisan
naskah-naskah berbahasa Jawa, bahasa Makassar, bahasa Madura, bahasa Melayu,
bahasa Sunda, bahasa Bali, dan bahasa Sasak. Bentuk Hanacaraka yang sekarang
dipakai sudah tetap sejak masa Kesultanan Mataram pada abad ke-17, tapi bentuk
cetaknya baru muncul pada abad ke-19.
Aksara ini adalah modifikasi dari Aksara Kawi. Hal ini bisa
dilihat dengan struktur masing-masing huruf yang paling tidak mewakili dua buah
huruf (aksara) dalam huruf latin. Sebagai contoh, Ha yang mewakili dua huruf
yakni H dan A, dan merupakan satu suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan
kata “hari.”
Pada bentuknya yang asli, aksara Jawa Hanacaraka ditulis
menggantung (di bawah garis) seperti aksara Hindi. Namun demikian, pengajaran
modern sekarang menuliskannya di atas garis. Aksara Hanacaraka Jawa memiliki 20
huruf dasar, 20 huruf pasangan yang berfungsi menutup bunyi vokal, 8 huruf
“utama”, 8 pasangan huruf utama, lima aksara swara (huruf vokal depan), lima
aksara rekan dan lima pasangannya, beberapa sandhangan sebagai pengatur
vokal, beberapa huruf khusus, beberapa tanda baca, dan beberapa tanda pengatur
tata tulisan.
Uniknya, beberapa sumber mengatakan bahwa Hanacaraka ini lahir
dari legenda atau mitos terkenal di Tanah Jawa, yakni Kisah Aji Saka.
Sayangnya, hanya sedikit anak muda di Indonesia saat ini yang tahu dan memaknai
kisah Aji Saka.
Aji Saka itu sendiri adalah seorang ksatria yang dahulu hidup di
Pulau Majethi. Selain tampan, Aji Saka juga memiliki ilmu yang tinggi dan
sakti. Ia mempunyai dua orang punggawa bernama Dora dan Sembada. Keduanya
sangat menururuti perintah Aji Saka. Suatu hari Ajisaka ingin berkelana
meninggalkan Pulau Majethi dan mengajak Dora, sementara Sembada tetap tinggal
di pulau untuk menjaga pusaka Aji Saka yang paling sakti. Aji Saka berpesan bahwa
pusaka itu tidak boleh diserahkan kepada siapapun kecuali dirinya sendiri.
Ketika itu di Jawa ada sebuah negara yang dikenal sebagai
Medhangkamulan. Namun, Medhangkamulan dipimpin oleh seorang pemimpin yang suka
menyantap daging manusia yakni Prabu Dewatacengkar. Hampir setiap hari ia
menyantap satu per satu rakyatnya hingga negara itu menjadi sepi. Aji Saka yang
kebetulan melintasi Medhangkamulan berhasil mengalahkan Prabu Dewatacengkar dan
menjadi raja di Medhangkamulan.
Setelah jadi raja, Aji Saka menyuruh Dora pergi ke Pulau Majethi
untuk mengambil pusaka yang dijaga Sembada. Karena memegang teguh pesan dari
Aji Saka, kedua orang punggawa itu pun bertarung hingga tewas.
Aji Saka yang mendengar kabar kematian Dora dan Sembada cukup
sedih dan mengabadikan dua punggawanya itu ke dalam sebuah aksara yang bunyinya ha na ca ra ka (ada utusan), da ta sa wa la (saling berselisih
pendapat), pa dha ja ya nya (sama-sama sakti),ma ga ba tha nga (sama-sama menjadi
mayat).
Kebenaran tentang mitologi Aji Saka dan kaitannya dengan
kelahiran aksara Hanacaraka memang harus dipelajari lebih dalam. Tapi yang
jelas, sejak tanggal 1 Oktober 2009, aksara Jawa Hanacaraka sudah masuk dalam
standar unicode yang membuatnya sejajar dengan aksara-aksara tradisional di
dunia lainnya seperti aksara Arab, aksara Hiragana, aksara Kanji, aksara
Devanagari, dan sebagainya.
Sebagai generasi penerus bangsa, kita wajib bangga akan prestasi
ini. Semoga Hanacaraka selalu bisa dijaga kelestariannya sebagai komponen
kebudayaan di Indonesia.
Posting Komentar